BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, Juni 30

Semangat, Tatih, Enggan, Pilu, Hampa, Angan, Naungan, Iba, dan Eloknya

Sudahlah…
Nubuatnya akan lekas kau genapi.
Tiada perlu ada sejuta ragu
Jelas dari pada kau merah padam
Menelan tawa sang dewa dewi…

Di depan bukan matamu berada?
Jangan biar hujan turun mereda…
Namun ku tahu kau akan berbeda
Lihat, kegagalanmu sungguh tiada

Tiada kah kau ingat
Saat kau berselubung penat?
Meski tak henti sabungan mendekat
Ingat, selempangmu ku gantungkan semangat

Bila hari itu tiba
Jangan coba kau semai setitik iba
Kenangan bukan kemarau yang kau raba
Kugiring hari-hari semi itu dengan tart dan peach melba

Biar manis harimu lepas 
Melepas kelu bak tujuh kapas
Cerah bulan purnama kan menghempas

Hingga tiba hadirnya,
Ia kan memikul kuk dan dosamu
Tanah kanaan
Tanah yang dijanjikannya
Mari bersamaku
Kita renggut musim semi yang hilang
Tiada ada kata teranja-anja 
Terlebih pada naungan maut yang kian singgah

Kelindan neraka (Seberkas sumpah)

Di balik tirai penghujam
Aku akan tetap menghantam
Kalanya aku berjubah hitam
Mungkin akan kubawa kelindan tajam

Menggenggam tampikan setan;
Langkah ini hanya jeritan
Jerit detak jantung tak rentan
Tak lagi untuk jiwa berperan

Kau disana lihati aku
Membikin hasrat yang terpaku
Bahwa engkau tahu ini aku
Hingga di sana terbujurlah aku

Takkan bisa kau kini
Dekati waktuku yang sembunyi
Kenapa kau terus membenci
mungkin kenyataan tak bernyanyi
bernyanyi di tunggak benakmu
goyah hikmat yang bertamu
Selama kau tak bertemu
Matahari di kala semu

Sebentar kau akan mampus
Aku pun tak akan menghapus
Abu siksaan yang terjangku terus
Diam dan tunggu masamu pupus
Kala itu aku berteriak
Air pun takut beriak
Tat kala setan sempat memihak
Di bahu tanjung bersorak
 
Nafas tinggal ampas
Tak hanya setebal kapas
Sirna itu tak pernah lepas
Meski sudah coba kau hempas

Hahaha kini tertawa
Melihat sosokmu dibawa
Dibawa terbang menembus hawa
Tunggu aku hingga nanti tua
Aku akan menyusul ke neraka
Menggenggam arti sebuah angan murka
Jangan harap bisa kau terka;
Melihat matimu penuh sirat luka

Minggu, Juni 28

Rindumu, Sang Bulan ep 2

Fajar amat murni dan rapuh singgahsana gulung-gulung awan sebelum diamuk sinar mentari. Keduanya saling bertepi, matahari dan bulan. Bertatap dalam kesunyian ombak. namun tiada sempat ada petikan kata, terik tlah ada. menepis harum lembayung senja. 

"Wahai gulung2 awan, biar kau yang jadi saksi. saksi keabadian cinta. Hati tak hangus terbakar meski penat tubuhku. Adalah mustahil bagiku bersua kembali." isak tangis matahari, dalam aduannya pada gulungan awan.

gema, desah awan berkata "Tiadakah kau tahu akan gerhana..."

meski tak tampak, palungan matahari tiada berperi melucuti keagungan Gerhana...

"bahkan itu tak kunanti selama 400 tahun" riang gembira naungan mentari. siang itu... besar rindunya pada rembulan. bulat tekad nya bercumbu dengan dewa malam...

"Bila kau tahu, aku pun tiada kau kenal pasti... rasanya jadi sang dewi... berjubah api, memikul lentera. Menorehkan canda tawa. Kau hanya awan bergulung demi keagunganku."

liku-liku awan bercerita. hingga malam tiba 100 tahun tlah usai. Dewa malam, halus parasnya, namun tegar bahasa senubarinya. dalam lingkar sinarnya bertampik. lekatnya Rembulan bercurah hati pada sang ombak.

"Kau tahu dewi lentera... tiadakah ada rindu di hatinya? ku selalu tunggu derai asmaranya. berkabung dalam kesunyian tiap siang. Dewi Lentera, dia yang kuinginkan. aku terlalu sunyi. diam tanpa seberkas cahaya."

"Tanyalah pada awan saat senja. mereka mengerti perasaan sang mentari. bahkan saat menjadi bola emas di penghujung senja." derai ombak tlah berkata...

"Tiada mungkin bagiku. Andai bintanglah saksinya... awan tak kan kulihat tiap malam. terlebih Mentari. Takdirku belum berpihak." 

"Oh bulan, tiada kah kau tahu tentang gerhana... saat takdirmu berpihak. di sanalah kau bercumbu dengan sinarnya." Jawab deruan yang menyongsong, menggapai cakrawala. letih ia berlari. kesana-kemari. bibir pantai selalu menjadi dermaga baginya.

Cinta itu Bukan Dermaga

Blia nanti kujumpa bintang
Izinkan aku, 
Menitih buih buih prosa 
Yang telah penat menunggu untuk kau baca
Cinta itu, bukan dirimu
Cinta itu, bukan bintang
Cinta itu, bukan mimpi
Cinta itu, bukan prosa dan puisi
Cinta itu, bukan piano

Gusar mencumbu baying-bayang angin
Berdiri tegak di atas
Mencoba menyaksikan jiwa mu yang lelah terjaga
Indah ini hari kusangka-sangka

Tapi itu tak akan benar adanya
Pedih perih masih saja memikul hidungmu
Paham sudah aku 
Setiap jarum-jarum yang menari
Dalam teluk hatimu 
Cinta itu, bukan baju bergaris hitam
Cinta itu, bukan tepian angan senubari
Sembari berkata : “ketika sang hujan lelah berdiri
  Bahkan anginpun berpelukan 
  Dengan mimpi alam
Ketika bulan tak lagi 
Tergila wewangi mawar
Di sana aku menanti
Bersama waktu yang menghujam 
Dari dinding awan nun jauh di syurga”

Pernah kah kau tahu,
Dalam ukiran emas aku terbaring
Meski kini rasa itu penuh karat
Namun tak akan pudar seutuhnya
Dari punggungku.
  Lihat, dua orang anak
  Tak hentinya menyebut nama rakuen
Ya…..
Tempat kita bertemu nanti…

Rakuen…

Minggu, Juni 21

Rindumu sang bulan ep 1

matahari. andai bulan jatuh cinta padanya. apa bisa dibuatnya?

meski tak jarang bertikai mereka itu. Namun bulan mengadu. ingin nya bahagia bersama mentari.

"wahai Ombak benarkan asa ku untuknya, biar kau yang menikungi takdirku, lingkari sembari kau berlari ke bibir pantai" 

deru sempurna enggan hiraukan bulan yang bertanya. "biar lah kau temui lagi keelokan itu. fajar sudah menaruh seberkas sinarnya padaku" rintih ombak berbincang pada bulan

"namun hanya saat fajar dan senja lah tempat ku bertemunya. ia di timur, aku di barat. tuh lihat, sudah hampir menghampiri aku"

Bulan tiada pernah tahu akan rasanya membakar siang hari. tak di temani bintang. hanya gulung2 awan yang risih kan hari hujan. begitulah yang mendekap dalam gelora api mentari.

"Lelah malam mu? indah pasti bulan yang kau gantungkan bersamamu" singgung mentari pada tepi bulan yang tenggelam....

"iri daku padamu, suatu hari, ingin ku bisa bergantung bersamamu bulan. menitih bintang yang ada bersamamu selalu"

"semua akan datang bila takdirku tlah tiba dalam sisi."

lekaslah bulan tenggelam. mengarungi alam lain tanpa mentari. entah bilamana takdir menghampirinya, memeluk dengan segenap hatinya...

Jumat, Juni 5

Rin, Pianis di Pentas, lalu Aku

denting2 biduan gelas yang beradu. hangat lilin putih di hadap hidungmu. bahkan tak samapai pula aku menggapai tiang harga dirinya. Pandangnya lurus kaku. ke atas kening pianis yang sembari memahat pentas. bola mata -punyaku yang bundar dan hitam- tiada hentinya bercermin pada kilap gincu bibir yang pernah kubelikan sebagai hadiah ulang tahun mu -yang entah lupa aku kau umur berapa-

"lihat aku"

"sudah kian kali kulihat"

"kurang menarikkah aku di dalam deru alur mu?"

"(terdiam dalam sepi mencekam)"

"Boleh kulihat senyum mu? gincu bibir itu pemberian ku bukan"

"sudahkah kau menitih kejenuhanku?"

keringat di tepi kuku sang pianis. mungkin buta sudah senuari Rin. ditusuk 12 kali oleh jemarinya. bisu rupanya aku dibuatnya. Hingga ia tiada sadar bahwa aku berada di depan sudut dadanya.

"aku Pulangkah yang kau inginkan?"

"itu menjadi pilihan mu. aku ingin tetap memandangnya"

"mengapa tidak ada aku tertoreh di sana? di sana!" 

kutunjuk buah dadanya. melambangkan hati yang terpendam dalam. bahkan jauh di dalam angannya ia selimuti.

"penat sudah aku dengan tawa palsumu"

"Tawa palsu, bukanlah itu. tak beda bukan dengan yang di atas pentas?"

jujur, acap kali aku terhangus cemburu dengan sang pianis. tak lain ia adalah bekas pacar Rin...mahirnya ia, mengitari sudut hati Rin

lihat, lampu sorot sudah mulai redup. doaku hampir saja terkabul. derai applause pula yang memenuhi ruang kini.

"Boleh kau antar aku pulang"

"tiada aku punya alasan lagi tuk bilang tidak"

"bagus. sebab berahiku memuncak sekarang. jangan segan bersamaku"

"Astaga Tuhan!!" makin ku cinta, makin enggan aku mengerti lagi isi benaknya. mungkin kering sudah isinya. tak hujan-hujan meski kutunggu

Rabu, Juni 3

Kikisan tiap Senja

belenggu yang tipikal... terkadang aku berfikir akan musnah.

hening yang absolut... sering kali aku terbuai. tak kecuali saat matahari terbenam

lamunan senja, dendang cakrawala. 

senja... ruang diam hadirku.