BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS
Tampilkan postingan dengan label Kisah kini dan selamanya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah kini dan selamanya. Tampilkan semua postingan

Selasa, Desember 22

Meski Jarang Ku Ucap.. Aku sayang Mama...

                                                                                             Hari Ibu...

ibu... kau yang biasa ku panggil “mama”

Detik ini… aku kah di hatimu?
Mungkin baru kuingat,
Tiap saat di lubuk hatimu aku berlutut

Ini hari… sejuta surat kasihku mulai tiba
Juga sejuta maafku…
“Mama… aku menyayangimu”
Mestinya kusebut berabad lalu
Namun sungguh itu yang kurasakan…
Mama, tiada pernah kau pinta kembali
Apa yang kau beri… itu lah tulus dari dalam hatimu
Jauh di dalam… tempat ditemukannya kasihmu padaku.

Mama pasti lelah kan…
Tirakatmu kau jaga
Menunggu kasihku yang entah tak kunjung tiba di benakmu
Memang aku ini anakmu, mama…
Namun kala aku bertumbuh
Rasa sayangku padamu,, kadang semakin pudar memutih
Entah aku memang durhaka…

Mama…
Ini hari… ingin aku lihat lekuk senyummu
Meski cuman sesaat saja…
Namun berarti bagiku…

Mengingat keringat jatuh di keningmu…
Di usiamu yang terlanjur senja…
Semoga “mama” …
Kelak menjalani hidup yang lebih bahagia…

Aku menangis…
Maafkan aku… dari sejuta dosa yang kutawarkan selalu.
Ingin sebentar saja aku peluk tubuh hingga kalbumu yang terdalam

“Mama…
Aku menyayangimu… tulus, tak ingin kupinta lagi darimu…
Karena ku tahu, kasihmu tiada berkesudahan…”

Minggu, Juni 28

Rindumu, Sang Bulan ep 2

Fajar amat murni dan rapuh singgahsana gulung-gulung awan sebelum diamuk sinar mentari. Keduanya saling bertepi, matahari dan bulan. Bertatap dalam kesunyian ombak. namun tiada sempat ada petikan kata, terik tlah ada. menepis harum lembayung senja. 

"Wahai gulung2 awan, biar kau yang jadi saksi. saksi keabadian cinta. Hati tak hangus terbakar meski penat tubuhku. Adalah mustahil bagiku bersua kembali." isak tangis matahari, dalam aduannya pada gulungan awan.

gema, desah awan berkata "Tiadakah kau tahu akan gerhana..."

meski tak tampak, palungan matahari tiada berperi melucuti keagungan Gerhana...

"bahkan itu tak kunanti selama 400 tahun" riang gembira naungan mentari. siang itu... besar rindunya pada rembulan. bulat tekad nya bercumbu dengan dewa malam...

"Bila kau tahu, aku pun tiada kau kenal pasti... rasanya jadi sang dewi... berjubah api, memikul lentera. Menorehkan canda tawa. Kau hanya awan bergulung demi keagunganku."

liku-liku awan bercerita. hingga malam tiba 100 tahun tlah usai. Dewa malam, halus parasnya, namun tegar bahasa senubarinya. dalam lingkar sinarnya bertampik. lekatnya Rembulan bercurah hati pada sang ombak.

"Kau tahu dewi lentera... tiadakah ada rindu di hatinya? ku selalu tunggu derai asmaranya. berkabung dalam kesunyian tiap siang. Dewi Lentera, dia yang kuinginkan. aku terlalu sunyi. diam tanpa seberkas cahaya."

"Tanyalah pada awan saat senja. mereka mengerti perasaan sang mentari. bahkan saat menjadi bola emas di penghujung senja." derai ombak tlah berkata...

"Tiada mungkin bagiku. Andai bintanglah saksinya... awan tak kan kulihat tiap malam. terlebih Mentari. Takdirku belum berpihak." 

"Oh bulan, tiada kah kau tahu tentang gerhana... saat takdirmu berpihak. di sanalah kau bercumbu dengan sinarnya." Jawab deruan yang menyongsong, menggapai cakrawala. letih ia berlari. kesana-kemari. bibir pantai selalu menjadi dermaga baginya.

Minggu, Juni 21

Rindumu sang bulan ep 1

matahari. andai bulan jatuh cinta padanya. apa bisa dibuatnya?

meski tak jarang bertikai mereka itu. Namun bulan mengadu. ingin nya bahagia bersama mentari.

"wahai Ombak benarkan asa ku untuknya, biar kau yang menikungi takdirku, lingkari sembari kau berlari ke bibir pantai" 

deru sempurna enggan hiraukan bulan yang bertanya. "biar lah kau temui lagi keelokan itu. fajar sudah menaruh seberkas sinarnya padaku" rintih ombak berbincang pada bulan

"namun hanya saat fajar dan senja lah tempat ku bertemunya. ia di timur, aku di barat. tuh lihat, sudah hampir menghampiri aku"

Bulan tiada pernah tahu akan rasanya membakar siang hari. tak di temani bintang. hanya gulung2 awan yang risih kan hari hujan. begitulah yang mendekap dalam gelora api mentari.

"Lelah malam mu? indah pasti bulan yang kau gantungkan bersamamu" singgung mentari pada tepi bulan yang tenggelam....

"iri daku padamu, suatu hari, ingin ku bisa bergantung bersamamu bulan. menitih bintang yang ada bersamamu selalu"

"semua akan datang bila takdirku tlah tiba dalam sisi."

lekaslah bulan tenggelam. mengarungi alam lain tanpa mentari. entah bilamana takdir menghampirinya, memeluk dengan segenap hatinya...

Jumat, Juni 5

Rin, Pianis di Pentas, lalu Aku

denting2 biduan gelas yang beradu. hangat lilin putih di hadap hidungmu. bahkan tak samapai pula aku menggapai tiang harga dirinya. Pandangnya lurus kaku. ke atas kening pianis yang sembari memahat pentas. bola mata -punyaku yang bundar dan hitam- tiada hentinya bercermin pada kilap gincu bibir yang pernah kubelikan sebagai hadiah ulang tahun mu -yang entah lupa aku kau umur berapa-

"lihat aku"

"sudah kian kali kulihat"

"kurang menarikkah aku di dalam deru alur mu?"

"(terdiam dalam sepi mencekam)"

"Boleh kulihat senyum mu? gincu bibir itu pemberian ku bukan"

"sudahkah kau menitih kejenuhanku?"

keringat di tepi kuku sang pianis. mungkin buta sudah senuari Rin. ditusuk 12 kali oleh jemarinya. bisu rupanya aku dibuatnya. Hingga ia tiada sadar bahwa aku berada di depan sudut dadanya.

"aku Pulangkah yang kau inginkan?"

"itu menjadi pilihan mu. aku ingin tetap memandangnya"

"mengapa tidak ada aku tertoreh di sana? di sana!" 

kutunjuk buah dadanya. melambangkan hati yang terpendam dalam. bahkan jauh di dalam angannya ia selimuti.

"penat sudah aku dengan tawa palsumu"

"Tawa palsu, bukanlah itu. tak beda bukan dengan yang di atas pentas?"

jujur, acap kali aku terhangus cemburu dengan sang pianis. tak lain ia adalah bekas pacar Rin...mahirnya ia, mengitari sudut hati Rin

lihat, lampu sorot sudah mulai redup. doaku hampir saja terkabul. derai applause pula yang memenuhi ruang kini.

"Boleh kau antar aku pulang"

"tiada aku punya alasan lagi tuk bilang tidak"

"bagus. sebab berahiku memuncak sekarang. jangan segan bersamaku"

"Astaga Tuhan!!" makin ku cinta, makin enggan aku mengerti lagi isi benaknya. mungkin kering sudah isinya. tak hujan-hujan meski kutunggu