BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS
Tampilkan postingan dengan label Tak Kusangka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tak Kusangka. Tampilkan semua postingan

Rabu, Juni 9

-

Kalau saja nanti kau terjaga... izinkan aku menyiapkan yang terabaik untukmu. Segala kesenangan dan kehangatan lilin-lilin. Biar aku yang siapkan. Untuk mu saja. Agar tak pernah hilang senyummu yang kudambakan itu. Senyum yang tak ada dua. Dan Ketika kau terjaga... Izinkan hanya aku saja yang terduduk dalam benakmu. Tak ada lain. Dengan begitu, genap dan sempurna lah nyanyian ku untuk mu. Sirna lah segala resah dan dukamu. Kalau saja nanti kau terjaga, jangan segan kamu buka matamu, hatimu, jiwamu, nyawamu.


Aku akan hadir begitu kau sebut namaku, begitu kau sebut huruf depanku, Bukan... bukan hadir di hadapanmu. Hadir dalam Hatimu. Bukakan pintu dan aku akan masuk...

puisi ini belum terselesaikan... maaf...

Senin, Mei 17

Unite...


I want to love you...


Tell me how...
Tell me why...

I've got no reason...
i'll tell you when i got one.
but let me love you with no reason...
and when the time comes to reunite us...

it'll be the day to find out...
all the deepest darkest secrets of you..

But then i realized
The more i know you...
The more i understand how big is the gift that He gave to me...
To meeting you...

Selasa, Mei 11

Apa?

Yang sepertinya ada namun tiada pernah terakui...

Pandai ku menutupinya... tak kuat...
Segelapnya wajah Venesia... tak bisa tutupi kehampaan.

Sedinginnya wajah Venesia, tak kuasa tetap saja menoreh gulita nya Cerita lalu...

Seindahnya rias wajah Venesia...
tak dapat tutupi semerbak luka membusuk...

Seeloknya bibir wajah Venesia...
Tak menyamai cumbuan dengan bayangan di tengah malam...

Sebirunya air wajah Venesia...
Tiada pernah ia mangerti,
senubari yang goyang dan membiru...
Seperti Cinta laut pada cakrawala...

Ku selalu punya kesmpatan memakainya...
Namun, tak ada asa aku berbuat,
Toh dirimu melihat ku jelas dari punggung hingga dada ku...
Begitu pun aku belajar mencintai...
kamu yang mengajari... kamu yang kucinta...
Semakin kumengerti dirimu... semakin kucinta...
Semakin jauh kukenal... semakin mengerti betapa Dia memberiku lebih dari yang kupinta...

Sabtu, Mei 8

Pernah Lihat Malaikat?

pertanyaan itu bagai nyata...

membungkuk ke atas kertas yang pucat membiru

Adalah dusta bila tak pernah seseorang melihat satu...
Banyak rupa yang terlihat, namun hanya satu yang didamba

"aku lihat satu...
Ya... satu..."

Minggu, April 18

Katakan...

Kalau bila memang aku tak berkenan


Kalau bila aku tak pernah melintas

Kalau bila aku datang lagi setelah kau usir

Kalau bila aku terus ada di benakmu

Kalau bila memang aku orangnya

katakan...

Kalau bila memang berat menanggung semuanya

kalau bila memang tak bisa aku menelusuri sampai ke sana...

Namun jangan sekali... Sekali pun
Kau menjahitkan labirin yang samar di hadap ku...

Katakan...
kalau bila kau tahu dalamnya palung hatiku

kalau bila kau mengerti luasnya lelahku...





katakan...
kalau bila kau tahu aku mencintaimu...

Kamis, April 8

Belum tapi kataku Sudah...

Belum...
Ternyata masih terluka
Ada dan masih menganga
Baru sadar, ketika orang itu tertawa
Senang, bangga, keji

Galau Galau Galau
Ingin kujaga, takut ada yg menambahkan parahnya
Aku takut, sedang apa dia disini?
Tolonglah, jangan mendekat untuk bermain
Aku hanya punya satu dan sedang rusak


___________________________________________________________________

Sudahlah...
Aku bagaikan titik air yang terjaga
di kaki pohon Randu
tak perduli pada semut pergi pulang membawa secercah lukamu
tak dengarkan riuh lalimanmu pada Orang itu

aku seperti rindangnya hutan hujan...
di tengah hangat gurun pasirmu

Jelaslah pantas bila aku singgah
Karena bukan jurusku untuk bermain

Aku di sana, bahkan disaat tidak kau pinta aku...
karena aku menjinjing sedikit celoteh mentari..
siapa bisa terka, kalau lukamu lekas-lekas mengering...

Sedikit pun coba kau sentuh, itu kulit wajahnya yang penuh keringat...
untukmu, secarik puisi itu tak berwajahkan dusta

Rabu, Maret 10

Bukan di Antara Fajar dan Petang (spesial post)


Baru saja aku beli sebatang dari warung kayu sebelah rumah.

Badannya lurus kaku kepalanya menjulur hitam seperti bebatu
badannya berserat sempit menyaring waktu

Lintasnya berderu di atas halaman kecoklatan
dalam detikan, hadir lentera yang basah menguning
Seperti suara sungai merindu...
titik hujan di musim gugur

Kusentuh erat menyiangi kegelapan
menanggalkan kelam dalam gulita
Menaruh separuh hangatnya di kesunyian

kuusir jauh lidah ledak dan bara
biar aman aku bernafas
tetap ku cekik naungan badai
biar tak ada pernah ia kenal menyerah...

Selasa, Januari 26

Phantom of The Opera - All I Ask of You

RAOUL : No more talkof darkness, Forget these wide-eyed fears. I'm here,nothing can harm you - my words will warm and calm you. Let me be your freedom, let daylight dry -your tears. I'm here, with you, beside you, to guard you and to guide you . . .

CHRISTINE : Say you love me every waking moment, turn my head with talk of summertime . . . Say you need me with you, now and always . . promise me that all you say is true - that's all I ask of you . . .


RAOUL : Let me be your shelter, let me be your light. You're safe: No-one will find you your fears are far behind you . . .


CHRISTINE : All I want is freedom, a world with no more night . . . and you always beside me to hold me and to hide me . . .


RAOUL : Then say you'll share with me one love, one lifetime . . . Iet me lead you from your solitude . . . Say you need me with you here, beside you . . anywhere you go, let me go too - Christine, that's all I ask of you . . .

CHRISTINE : Say you'll share with me one love, one lifetime . . . say the word and I will follow you . . .

BOTH : Share each day with me, each night, each morning . . .

CHRISTINE : Say you love me . . .

RAOUL : You know I do . . .

BOTH : Love me - that's all I ask of you . . .

(They kiss)

Anywhere you go
let me go too . . .
“Love me”
that's all I ask
of you . .

Rabu, Desember 30

Haaaa...

di bawah garis lukisan cakrawala

gemuruh Sangkakala melengking tajam membisingkan

Lemah gemulai rerumputan rajangan

Liang pelita meruah absurd keabu-abuan

Lingkaran adagio merah muda

ditengahnya ada Gapura Jelitamu

Tak kusangka

Bayanganmu terus singgah

Tak kenal bila aku di surga adanya

Lihai benar kau ketuk Pintuku

Raguku beribu ruas

Senantiasa mengelami panorama kelabu

Sampaikan saat aku tiada

Kiranya tidak kau dongengkan lagi dosaku

Nyawaku selayang pandang

Selasa, Desember 22

Meski Jarang Ku Ucap.. Aku sayang Mama...

                                                                                             Hari Ibu...

ibu... kau yang biasa ku panggil “mama”

Detik ini… aku kah di hatimu?
Mungkin baru kuingat,
Tiap saat di lubuk hatimu aku berlutut

Ini hari… sejuta surat kasihku mulai tiba
Juga sejuta maafku…
“Mama… aku menyayangimu”
Mestinya kusebut berabad lalu
Namun sungguh itu yang kurasakan…
Mama, tiada pernah kau pinta kembali
Apa yang kau beri… itu lah tulus dari dalam hatimu
Jauh di dalam… tempat ditemukannya kasihmu padaku.

Mama pasti lelah kan…
Tirakatmu kau jaga
Menunggu kasihku yang entah tak kunjung tiba di benakmu
Memang aku ini anakmu, mama…
Namun kala aku bertumbuh
Rasa sayangku padamu,, kadang semakin pudar memutih
Entah aku memang durhaka…

Mama…
Ini hari… ingin aku lihat lekuk senyummu
Meski cuman sesaat saja…
Namun berarti bagiku…

Mengingat keringat jatuh di keningmu…
Di usiamu yang terlanjur senja…
Semoga “mama” …
Kelak menjalani hidup yang lebih bahagia…

Aku menangis…
Maafkan aku… dari sejuta dosa yang kutawarkan selalu.
Ingin sebentar saja aku peluk tubuh hingga kalbumu yang terdalam

“Mama…
Aku menyayangimu… tulus, tak ingin kupinta lagi darimu…
Karena ku tahu, kasihmu tiada berkesudahan…”

Jumat, Desember 18

Terlebih...

Kiranya keheningan menjulurkan bulu mata ke awang-awang pilunya. 

awal dari akhir yang tak berkesudahan...

kiranya tlah lama dimulaikan waktu...

bising, iblis-iblis kerdil tak mau melerainya.

terlebih...

bahkan jangan pernah jatuhkan pandangmu pada waktu.

enggan wajahnya berpaling walau saat matahari mengikis hari.

"ini kisah tentang rumput musim semi

hijau pekat penuh candu ceria

matahari terkantuk-kantuk... terbakar semu dunianya

pohon cemara lagi tidak lebat, 

padahal kukira ini desember...

jemari hujan harusnya menitih waktu

siang malam senantiasa bersaksi

                          satu..

                       dua...

                       tiga

                     empat...

                              lima...

                                  enam...

                                       tujuh.....

                                          delapan..

                                    sembilan..

                                         sepuluh..

                                                sebelas...

                                                      duabelas

                                        tigabelas

                            empatbelas...

tak terhingga " kau hitung hingga tak terhingga adanya...

bergelap gulita bagai malam tak ber-rembulan.

jenuh ku angka-angka semu ku sebut...

terus hingga tak terhingga...

tinggal abu dan gusar.. menyampulkan sejuta kerinduan..

Jumat, Desember 11

Kalau besok...?




wewangi lembayung senja... bunga... biaraku berbaring sejenak.memang kan hari ini hari terakhir di bumi pertiwi?
di pangkuan ibu...

di lingkar cincin Saturunus mulai tampak dari tempat pijak kakiku.

lurus tak ada tikungan, tanah-tanah menuju satu-satuan bintang.

dalam-dalam kau ukir di tanah
gurindam kesepian
"besok tiada lagi?" bagaikan rayu-rayu nyiur embun...

"Senja terakhir ya, lihat merpati sudah menari di rantai Cincin beku Saturnus.." Duh, entah remang cahaya di matamu sulit kutafsir dalam kitab. seperti sudah tertulis di rambutmu, sudah sejuta kali kau ucap. "cerita ini... telah tertulis di ruang riuh keabadian, nun jauh di sana, dimana entah aku temukan hatimu..."

langit mulai merona. waktu-waktu lalu, jangan kau toleh lagi... terlebih kau tunggu. Cuma letihkan manah, pentas manusia telah usai dibalik tirai merah. Tinggal tunduk hormat, gaduh kagum penuh sandiwara.

tiada punya waktu aku untuk mengantar asa kepada liang luka serupa palung rahim. waktu kini di genggam rama... kuasaku habis dirapuh sirik dan nafsu...

"Besok tiada lagi?" sejenak aku rindu peluk ibu, tapi dimana hendak kulepas?
"senja terakhir ini. tiada lama pun berlalu. lalu, tanpa sebersit penyesalan..."

Senin, Desember 7

Bukan...

yang kujanjikan ini bukan pelangi semu yang terkoyak saat hujan tlah usai...
aku menjadi kenyataan. memikul angin-angin mimpi pelukan.

aku bermimpi.. menjadi pria yang menjingjing berkas kehormatanmu.
berpegangkan medali perak, menaruh utuh nyawaku di bawah guyuran mentari
dalam sudut mata mu titik-titik fana telah kabur merantau...

segenap binasa kiranya kusisihkan...
mendayu tempat bagi keagungan
bagai sedang bersih-bersih permadani. Medan perang tidak sempit.

Bukanlah sesekali aku menepis badai gusar gelisah...



Sabtu, November 28

Duh, Adinda…

Secercah sinar di matanya 
Tak beda dengan mentari ketika fajar perlahan menyingsing.
Kulitnya teramat cerah, bagai langit yang tiada merindukan hadirnya hujan.
Ketika bibirnya ia lekukan, wajahnya tak segan berubah, 
berubah.. Semanis buah yang dikecap Hawa di taman Firdaus. 
Semerdu dawai-dawai harpa yang dipetikan Lucifer dahulu di nirwana,
Suara tiada jenuh-jenuhnya membuai daun telinga.

Alisnya.. tak tebal, tak tipis, bagai awan di langit kemarau.
Serasi dengan rambut ikalnya yang terlukis bagai jejak-jejak peluru hangat di udara.
Satu dua kali ia berlalu, harum semerbak menjadi buntutnya, seharum buah dudaim di malam perkawinan.

Jelita hatinya, terlukis dari lirih-lirih parasnya… Seperkasa ksatria nyalinya, 
Sehalus permaisiuri manjanya.
Sosok jelita itu perlahan,, perlahan menuai penatku…

Namun telah penuh terisi hatinya.
Tiada ruang tersisa.
Bagaikan kotak harta karun… isinya tiada kentara
Bahkan sudut hatinya tak kenal sedikitpun kekosongan.
Yah…
Kini berharap saja yang ku perbuat…
Hatinya dipenuhi kebahagian yang kekal abadi...

Jumat, Agustus 28

Bilur


ruang itu sempit. tempat kunanti juita malam, 

Sisihkan larik buat adinda. 
Merah Delima, hari malam jelas tiada tertera.
Rembulan berbilur sinar, abadi adanya.
Pantulnya rabun rauh mulia.

Tembus terus sinarnya
Bak kenur tembus tujuh pelita
Aduh, kekasihku teluk masih belum terlihat
Burung pungguk bernyanyi, dendang, asa berliat

“Adinda, 
Aku ladang permata 
Di tikungan Dusun hati adinda
O, cerca kau lontar. Dikoyak ara.”

 Kuasamu, adinda, beratus tulah
Terbaring lelap aku rasa
Adinda…
Mentari mengumbar tengkuk gunung hangat senantiasa.
Hari tinggal seberkas tulah

Ruang itu sempit. Tempat kunanti juita malam,

Sabtu, Agustus 8

Masa aku?? Yang Benar Saja...


Kumulai denganmu…
Bagai perekat…
Palu itu kau beri
Saat kulit tak lagi kau terka…
Biar lidahku yang menuai liurmu…
                     Lihat… liurmu hampir menetes
                      Mari… biar keagungan lirih, 
                       Nafsu perianganmu menyambar tak henti
                       Lekas-lekas kujala. Hingga nanti kita bersua di ranjang
                     Tapi jangan sekalipun lirik hati punyaku. Tak baik adanya perlakuan itu
Biar kusingsingkan aroma itu. ku buat sirna apa yang kau pakai
  Biarkan sekali aku melolong… kau diam saja, terima…
 Toh aku tak pernah kaberatan… kenapa juga kau?
  Lekas kau riakan jeratan rambut kecil
Aku pun tak pernah meminta, pedulikah kau anjing pada melolong?
Biar semua mati… aku tak pernah perduli… kenapa juga kau?

                                                  Mari… tarianku belumlah usai. 
                                      Harap saja kau tak hilang birahi. 
                           Jangan peduli laut gusar. Ombaknya serupa tarian kita.
                  Tak henti tak lelah.

Memang raga di sini. Namun entah fikiran hilangnya…
jangan ditunggu,[nanti malah tak sungkan datang]
Janji saja kali ini… bila ada buah terkulai… jangan segan kau petik .
Berilah nama Arjuna. Bagai apa yang Mertuamu punya mimpi  
Biar ia berkalana seperti aku. Tak sendiri.
Minta lah Nafsunya memeluknya. 
Kau tahu fikirannya. Teluk-teluk laknat dan mantra yang ia telan…
     Ya… Arjuna saja namanya..


Sabtu, Agustus 1

Lagi-lagi... Takdir... Aku senantiasa bersujud...

aku dan dia.

tak sedikit similaritas. mungkin tak beda asa. dia pemimpi, akupun tak pernah lupa bermimpi. dia menulis. yang saat ini tengah kugenapi.

ibuku jelas berbeda dengannya. Kami melihat bumi dari rahim yang berbeda. Darah kami tak pernah bersatu. Pernah mungkin ia singgah. entah dimana. Jelaslah kutarik kesimpulan, bahwa kami bukan kembar.

Namun kami sehati.

tunggu...

Sehati...

lagi-lagi...

sejenak kulihat gambar wajahnya yang ia ukir sendiri.

tak kusangka. 

Tiada jauh denganku. 

Apa ini lukisan sebuah takdir?

api yang berkibar... aku hanya ingin sebuah jawaban.

Benarkah dirinya...? 

apa pantas aku ini...

musim hujan nanti...

kau kutunggu... 

hingga akhirnya...

Tak kusangka

Tak kusangka.

lagi-lagi ini terjadi. 

telah kuucapkan lagi.

namun terlalu besar letihku.

dia, kembali kuingat. 

terus dan terus saja.

tanpa dosa dan doa.

aku lagi yang menuainya.

Selasa, Juni 30

Semangat, Tatih, Enggan, Pilu, Hampa, Angan, Naungan, Iba, dan Eloknya

Sudahlah…
Nubuatnya akan lekas kau genapi.
Tiada perlu ada sejuta ragu
Jelas dari pada kau merah padam
Menelan tawa sang dewa dewi…

Di depan bukan matamu berada?
Jangan biar hujan turun mereda…
Namun ku tahu kau akan berbeda
Lihat, kegagalanmu sungguh tiada

Tiada kah kau ingat
Saat kau berselubung penat?
Meski tak henti sabungan mendekat
Ingat, selempangmu ku gantungkan semangat

Bila hari itu tiba
Jangan coba kau semai setitik iba
Kenangan bukan kemarau yang kau raba
Kugiring hari-hari semi itu dengan tart dan peach melba

Biar manis harimu lepas 
Melepas kelu bak tujuh kapas
Cerah bulan purnama kan menghempas

Hingga tiba hadirnya,
Ia kan memikul kuk dan dosamu
Tanah kanaan
Tanah yang dijanjikannya
Mari bersamaku
Kita renggut musim semi yang hilang
Tiada ada kata teranja-anja 
Terlebih pada naungan maut yang kian singgah

Minggu, Juni 28

Cinta itu Bukan Dermaga

Blia nanti kujumpa bintang
Izinkan aku, 
Menitih buih buih prosa 
Yang telah penat menunggu untuk kau baca
Cinta itu, bukan dirimu
Cinta itu, bukan bintang
Cinta itu, bukan mimpi
Cinta itu, bukan prosa dan puisi
Cinta itu, bukan piano

Gusar mencumbu baying-bayang angin
Berdiri tegak di atas
Mencoba menyaksikan jiwa mu yang lelah terjaga
Indah ini hari kusangka-sangka

Tapi itu tak akan benar adanya
Pedih perih masih saja memikul hidungmu
Paham sudah aku 
Setiap jarum-jarum yang menari
Dalam teluk hatimu 
Cinta itu, bukan baju bergaris hitam
Cinta itu, bukan tepian angan senubari
Sembari berkata : “ketika sang hujan lelah berdiri
  Bahkan anginpun berpelukan 
  Dengan mimpi alam
Ketika bulan tak lagi 
Tergila wewangi mawar
Di sana aku menanti
Bersama waktu yang menghujam 
Dari dinding awan nun jauh di syurga”

Pernah kah kau tahu,
Dalam ukiran emas aku terbaring
Meski kini rasa itu penuh karat
Namun tak akan pudar seutuhnya
Dari punggungku.
  Lihat, dua orang anak
  Tak hentinya menyebut nama rakuen
Ya…..
Tempat kita bertemu nanti…

Rakuen…