BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, Desember 30

Haaaa...

di bawah garis lukisan cakrawala

gemuruh Sangkakala melengking tajam membisingkan

Lemah gemulai rerumputan rajangan

Liang pelita meruah absurd keabu-abuan

Lingkaran adagio merah muda

ditengahnya ada Gapura Jelitamu

Tak kusangka

Bayanganmu terus singgah

Tak kenal bila aku di surga adanya

Lihai benar kau ketuk Pintuku

Raguku beribu ruas

Senantiasa mengelami panorama kelabu

Sampaikan saat aku tiada

Kiranya tidak kau dongengkan lagi dosaku

Nyawaku selayang pandang

Senin, Desember 28

Raib...

Hening Biru Bulan tak henti mencari tahu...

Aduhai. siapa kawan ini... Kembang Platina, bagai mencari hatinya

Nila pasti warna hatinya... tak ingin kuragukan

Imaji pelangi... dimana letak kejenuhannya?

Elang pun tak henti mencari meski cuma serpih riwayatnya...

***

Hai, kamu yang sembari berlabuh

Aku tiada segan mencarikannya, mungkin ada di bawah liang tawa mentari

Ngarai nirwanakah isi hatimu?

Ilhamnya tak kunjung tiba, kamu tahu betul, bukan aku pencurinya

"Elok benar" itu yang kutahu tentangnya...

***

Hujan kepayang mulai lemas terjatuh

Adinda... dimana ditaruhnya hatimu?

Nestapa jangan lagi kau pikul, biar aku yang carikan...

Ibarat maut menitih - nitih dosa : dicari sampai palungan

Entah waktu pasti mati... aku tiada pernah jenuh melengah mencari... hatimu.

Selasa, Desember 22

Meski Jarang Ku Ucap.. Aku sayang Mama...

                                                                                             Hari Ibu...

ibu... kau yang biasa ku panggil “mama”

Detik ini… aku kah di hatimu?
Mungkin baru kuingat,
Tiap saat di lubuk hatimu aku berlutut

Ini hari… sejuta surat kasihku mulai tiba
Juga sejuta maafku…
“Mama… aku menyayangimu”
Mestinya kusebut berabad lalu
Namun sungguh itu yang kurasakan…
Mama, tiada pernah kau pinta kembali
Apa yang kau beri… itu lah tulus dari dalam hatimu
Jauh di dalam… tempat ditemukannya kasihmu padaku.

Mama pasti lelah kan…
Tirakatmu kau jaga
Menunggu kasihku yang entah tak kunjung tiba di benakmu
Memang aku ini anakmu, mama…
Namun kala aku bertumbuh
Rasa sayangku padamu,, kadang semakin pudar memutih
Entah aku memang durhaka…

Mama…
Ini hari… ingin aku lihat lekuk senyummu
Meski cuman sesaat saja…
Namun berarti bagiku…

Mengingat keringat jatuh di keningmu…
Di usiamu yang terlanjur senja…
Semoga “mama” …
Kelak menjalani hidup yang lebih bahagia…

Aku menangis…
Maafkan aku… dari sejuta dosa yang kutawarkan selalu.
Ingin sebentar saja aku peluk tubuh hingga kalbumu yang terdalam

“Mama…
Aku menyayangimu… tulus, tak ingin kupinta lagi darimu…
Karena ku tahu, kasihmu tiada berkesudahan…”

Jumat, Desember 18

Terlebih...

Kiranya keheningan menjulurkan bulu mata ke awang-awang pilunya. 

awal dari akhir yang tak berkesudahan...

kiranya tlah lama dimulaikan waktu...

bising, iblis-iblis kerdil tak mau melerainya.

terlebih...

bahkan jangan pernah jatuhkan pandangmu pada waktu.

enggan wajahnya berpaling walau saat matahari mengikis hari.

"ini kisah tentang rumput musim semi

hijau pekat penuh candu ceria

matahari terkantuk-kantuk... terbakar semu dunianya

pohon cemara lagi tidak lebat, 

padahal kukira ini desember...

jemari hujan harusnya menitih waktu

siang malam senantiasa bersaksi

                          satu..

                       dua...

                       tiga

                     empat...

                              lima...

                                  enam...

                                       tujuh.....

                                          delapan..

                                    sembilan..

                                         sepuluh..

                                                sebelas...

                                                      duabelas

                                        tigabelas

                            empatbelas...

tak terhingga " kau hitung hingga tak terhingga adanya...

bergelap gulita bagai malam tak ber-rembulan.

jenuh ku angka-angka semu ku sebut...

terus hingga tak terhingga...

tinggal abu dan gusar.. menyampulkan sejuta kerinduan..

Jumat, Desember 11

Kalau besok...?




wewangi lembayung senja... bunga... biaraku berbaring sejenak.memang kan hari ini hari terakhir di bumi pertiwi?
di pangkuan ibu...

di lingkar cincin Saturunus mulai tampak dari tempat pijak kakiku.

lurus tak ada tikungan, tanah-tanah menuju satu-satuan bintang.

dalam-dalam kau ukir di tanah
gurindam kesepian
"besok tiada lagi?" bagaikan rayu-rayu nyiur embun...

"Senja terakhir ya, lihat merpati sudah menari di rantai Cincin beku Saturnus.." Duh, entah remang cahaya di matamu sulit kutafsir dalam kitab. seperti sudah tertulis di rambutmu, sudah sejuta kali kau ucap. "cerita ini... telah tertulis di ruang riuh keabadian, nun jauh di sana, dimana entah aku temukan hatimu..."

langit mulai merona. waktu-waktu lalu, jangan kau toleh lagi... terlebih kau tunggu. Cuma letihkan manah, pentas manusia telah usai dibalik tirai merah. Tinggal tunduk hormat, gaduh kagum penuh sandiwara.

tiada punya waktu aku untuk mengantar asa kepada liang luka serupa palung rahim. waktu kini di genggam rama... kuasaku habis dirapuh sirik dan nafsu...

"Besok tiada lagi?" sejenak aku rindu peluk ibu, tapi dimana hendak kulepas?
"senja terakhir ini. tiada lama pun berlalu. lalu, tanpa sebersit penyesalan..."

Senin, Desember 7

Bukan...

yang kujanjikan ini bukan pelangi semu yang terkoyak saat hujan tlah usai...
aku menjadi kenyataan. memikul angin-angin mimpi pelukan.

aku bermimpi.. menjadi pria yang menjingjing berkas kehormatanmu.
berpegangkan medali perak, menaruh utuh nyawaku di bawah guyuran mentari
dalam sudut mata mu titik-titik fana telah kabur merantau...

segenap binasa kiranya kusisihkan...
mendayu tempat bagi keagungan
bagai sedang bersih-bersih permadani. Medan perang tidak sempit.

Bukanlah sesekali aku menepis badai gusar gelisah...



Sabtu, November 28

Duh, Adinda…

Secercah sinar di matanya 
Tak beda dengan mentari ketika fajar perlahan menyingsing.
Kulitnya teramat cerah, bagai langit yang tiada merindukan hadirnya hujan.
Ketika bibirnya ia lekukan, wajahnya tak segan berubah, 
berubah.. Semanis buah yang dikecap Hawa di taman Firdaus. 
Semerdu dawai-dawai harpa yang dipetikan Lucifer dahulu di nirwana,
Suara tiada jenuh-jenuhnya membuai daun telinga.

Alisnya.. tak tebal, tak tipis, bagai awan di langit kemarau.
Serasi dengan rambut ikalnya yang terlukis bagai jejak-jejak peluru hangat di udara.
Satu dua kali ia berlalu, harum semerbak menjadi buntutnya, seharum buah dudaim di malam perkawinan.

Jelita hatinya, terlukis dari lirih-lirih parasnya… Seperkasa ksatria nyalinya, 
Sehalus permaisiuri manjanya.
Sosok jelita itu perlahan,, perlahan menuai penatku…

Namun telah penuh terisi hatinya.
Tiada ruang tersisa.
Bagaikan kotak harta karun… isinya tiada kentara
Bahkan sudut hatinya tak kenal sedikitpun kekosongan.
Yah…
Kini berharap saja yang ku perbuat…
Hatinya dipenuhi kebahagian yang kekal abadi...

Rabu, November 18

Komet malam ini...

komet malam ini tak kan datang meski kamu tunggu. terlebih kamu pajang terus wajah murungmu itu.

Komet itu datang, dengan memberikan keindahan... namun tak hanyalah itu tujuannya...
bagaikan hatimu... Ia juga menulusuri jagat raya... mencari keindahan yang kekal.

jangan sekali-sekali kamu berharap..
komet akan membelah langit malammu dari timur ke barat daya.

pejamkan matamu satu kali saja. coba terka lubuk hatimu yang terdalam...
di dalam sanalah secercah keindahan senantiasa berdiam di dalam keagungannya.

lubuk hatimu yang benderang melambangkan kesucian murni kekal adanya.
adinda... jangan kau tunggu komet malam ini... tak kan tiba hadirnya meski kau tunggu...

karena komet itu... datang dengan memberikan keindahan... namun tak hanyalah itu tujuannya...
bagaikan hatimu... Ia juga menulusuri jagat raya... mencari keindahan yang kekal.

Senin, November 16

조용함... [dalam untaian kronologis]

dikepung hujan...

sendiri, dalam kelamnya raungan sepi.

"teruslah kamu menangis. aku akan berada di sebelahmu.
kalau kamu sudah rasakan hangatnya hatiku...

aku mohon berhentilah menangis..
tapi kalau belum, aku tak akan segan memberi setiap kasihku padamu."

dalam sunyi yang tengah waktu janjikan

"kamu akan kupeluk erat. hingga kau rasa, ada lilin yang menyala di dalamku.
sesekali kukecup keningmu. lalu kupandang wajahmu dalam-dalam. sembari ku genggam kedua belah pipimu yang terbelah air matamu.

lalu kamu kupeluk kembali. kupegang punukmu, mendorong kepalamu ke atas bahuku.
perlahan ku lepas pelukku, kutatap lagi wajahmu dalam. dalam...
bahkan kamu tak akan bisa mengerti... "

Dalam keheningan yang erat...

"kukatakan sejuta kali rangkaian kata -sungguh aku menyayangimu-
yang tlah kujanjikan padamu, bahwa rasa itu tak pernah pudar.
dan kamu pun tak hentinya menangis. Penuh haru dan kebimbangan. lalu kupeluk kembali untuk ketiga kalinya, tubuhmu itu.

dalam dekapku kubacakan syair-syair kesukaanmu. lagu-lagu kesukaanmu kudendangkan.
perlahan kamu berhenti menangis. dan kutatap wajahmu yang mungil.
ingin rasanya ku kecup bibirmu yang merah. bolehkah?"

kau anggukan kepalamu. sesaat kau penjamkan matamu.

"aku lakukan ini sangat perlahan. penuh kesabaran namun tak ragu. perlahan...
...

bibirku mulai menyentuh bibirmu. dingin sekali. kamu bagai habis makan ice cream. tapi untuk itulah aku telah hadir. memberi kehangatan padamu.
Rasa ciuman ini, kian lama terasa hangat kan? kamu terus pejamkan matamu. penuh kesabaran sembari perlahan tanganku memegang lekuk tubuhmu. dan bibir ku mulai lah menyentuh dagu hingga lehermu."

Lemah lembut sekali kau menyudahi kemesraan ini. pedih dan perih dan luka dan tangis dan bimbang habis sudah kukecup.

"kamu jangan bersedih lagi. aku akan ada di sampingmu. memegang erat tangan serta hatimu..."

Tenderly..

in this moment, can i bring you a lovely kiss?
even just for once, i'll promise to you it won't fade in your memories.

or..
i'll ask you something deeper than the ocean...

in this moment, can i still love you?
because your eyes give me no mercy.

in this moment, can i be the only one?
just once, i'll hold you closely
than i'll stroke your cheek... take you to the leap of faith.

Sabtu, November 14

...

yang kau butuhkan bukan petunjuk
juga bukan diriku...
tetapi waktu.

terkadang pun aku tiada mengerti

bahwa penyesalan datang bukan karena kesalahan
terlebih kegagalan.

Melainkan KEKTAKUTAN dalam diri seseorang

dan kesakitan ada bukan karena ditinggal
atau pengkhianatan
melainkan ada karena tak adanya pengertian mendalam
dalam sebuah kisah.

kematian bukan berarti kepergian
bukan juga ujung sebuah perjalanan hidup

kematian adalah akhiran semu dalam proses yang kita
tempuh. tak akan kembali, namun tak akan pernah usai
juga.

Minggu, Oktober 25

Sketsa kehidupan aku lukis...

. . . _ . _ . _ . . . . _ _ . _ . . . . . . . _ . . . . _ . _ _ . . _ _ . . _ _ . _ . . _ . _ . . . . _ _ . _ . . . . .





Minggu, September 20

Kantuk..

renda putih berbunga kau kenakan terus. Penghujung gaun merah berbunga, yang selalu cocok buat lekuk keindahan... 

oh kasih.... aku kembali...

kembali dalam kelabu...

untuk ke dua kali, kekasih...

sempurna bundar bulan purnama...

Semburat gemilang di akhir labuhan...

kutikan awan tiada putus asanya...

menelan mari manis buat genapi rantai perkasihan itu....

ahhhh. Gelap...aku rindu cahaya..

Rabu, September 16

Ku Sebut...

Buat Pak Aldo

Kepergian, tiada pernah kausebut akhir…
Kepergian, tak pernah jadi terlalu dini…
Kepergian, tiada pernah aku sebut perpisahan…

Kepergian, bukanlah sebuah paksaan
Hanya saja, ialah takdir yang tiada pernah terelakan…

Kepergian…
Tak kau singgung satu inci jarak…
Tak kau dendang satu biduan pun…

tiada lagi kisah yang terperi
hanya lirih kenangan…

dalam kemerduan isak tangis penuh kelu…
kau pandang senja mulai membiru…
Senja terakhir…
Ketika bukan lagi kunamai langit sore…

Kepergian, pernah kau sebut-sebut…
Mula dari sebuah kerinduan…


Bila kau tiba di sana,
Kiranya aku menetap dalam kalbumu…

Biar kisah ini…
Kekal abadi… sesekali kau toleh…

Kepergian, tak pernah jadi terlalu dini…

Namun…
Memang terlalu dini…
Terlalu dini…

6
“Kehidupan adalah palungan batin
Yang menelan setiap butiran kenangan”



Jumat, Agustus 28

Bilur


ruang itu sempit. tempat kunanti juita malam, 

Sisihkan larik buat adinda. 
Merah Delima, hari malam jelas tiada tertera.
Rembulan berbilur sinar, abadi adanya.
Pantulnya rabun rauh mulia.

Tembus terus sinarnya
Bak kenur tembus tujuh pelita
Aduh, kekasihku teluk masih belum terlihat
Burung pungguk bernyanyi, dendang, asa berliat

“Adinda, 
Aku ladang permata 
Di tikungan Dusun hati adinda
O, cerca kau lontar. Dikoyak ara.”

 Kuasamu, adinda, beratus tulah
Terbaring lelap aku rasa
Adinda…
Mentari mengumbar tengkuk gunung hangat senantiasa.
Hari tinggal seberkas tulah

Ruang itu sempit. Tempat kunanti juita malam,

Minggu, Agustus 23

Langit T'lah biru

Mari kawan
Lenganku telah putus.
Simbahan darah, lekaslah kita pulang.

Sabtu, Agustus 22

By Myself [english translation]

please, just pass by pretending like you don't see me
please, don't even give me a glance
in the days that are like the sandy winds
don't give anything to me

folding away my one heart
hiding my one tear
like it's the first time we've seen each other, like we're strangers
just pass by. it has to be like that.

by myself, i say my love, send away my love
in the folds of the lonely accumulated memories, the tears hang

even if you're far away, i hope that you'll be happy
i bury my love deeply within my heart

in the next world, when we are born
then, we'll look at each other face to face
let's be born so that we don't lose weakly in front of fate again

so that i may be a flower in front of you
i'll sing a song for you
as one's girl, as one man's lover
i want to always live by your side

by myself, i say my love, send away my love
in the folds of the lonely accumulated memories, the tears hang

even if you're far away, i hope that you'll be happy
my love, deeply within my heart...

though it hurts, though it will hurt, i will never cry
because there is no such thing as farewell in my love

when this life ends, in the next world, us two
let's love, for sure. let's love, for sure.
us two.


Sabtu, Agustus 15

Harus Bagaimana...

Harus Bagaimana?
Kehidupan selanjutnya…
Dia tetap Cinta pertama
Meski aku sebatang pohon nantinya…
Tak kan berubah dirinya

Kala aku tertidur..
Dalam pelukan musim dingin kelak aku berjanji
Cinta Kasih tak kan pudar dalam tiap tepi rantingku
Dia yang berlalu di mata, tak kan berlalu dalam benak

Kalau-kalau ia panggil daku
Harus bagaimana?

Kalau-kalau ada rindu hatinya
Harus bagaimana?

Tak kuasa. Tak pernah kuasa.
Lelahnya, dihinggapi rasa rindunya
Harus bagaimana?

Cinta pertama… selamanya kan?
Tak kan pudar. Tak kan meski telah 
Kau cuci dengan guratan dosamu.
Cinta pertama… 
Tak pernah pudar…

Aku terlanjur…
Namun tak ada sesalku berkulai.
Sbab lurus kaku jalanku mencintainya.
Tak bercabang terlebih tikungan.

Dia saja. tak ada inginku yang lain.
Dia saja.
Cinta pertama
Kalau-kalau aku tertidur…
Tak tentu terjaga kembali…
Hilangkah senyumnya?
Harus bagaimana?

Ia yang di sana... kalau-kalau namaku disebutnya..





Harus bagaimana?

Sabtu, Agustus 8

Masa aku?? Yang Benar Saja...


Kumulai denganmu…
Bagai perekat…
Palu itu kau beri
Saat kulit tak lagi kau terka…
Biar lidahku yang menuai liurmu…
                     Lihat… liurmu hampir menetes
                      Mari… biar keagungan lirih, 
                       Nafsu perianganmu menyambar tak henti
                       Lekas-lekas kujala. Hingga nanti kita bersua di ranjang
                     Tapi jangan sekalipun lirik hati punyaku. Tak baik adanya perlakuan itu
Biar kusingsingkan aroma itu. ku buat sirna apa yang kau pakai
  Biarkan sekali aku melolong… kau diam saja, terima…
 Toh aku tak pernah kaberatan… kenapa juga kau?
  Lekas kau riakan jeratan rambut kecil
Aku pun tak pernah meminta, pedulikah kau anjing pada melolong?
Biar semua mati… aku tak pernah perduli… kenapa juga kau?

                                                  Mari… tarianku belumlah usai. 
                                      Harap saja kau tak hilang birahi. 
                           Jangan peduli laut gusar. Ombaknya serupa tarian kita.
                  Tak henti tak lelah.

Memang raga di sini. Namun entah fikiran hilangnya…
jangan ditunggu,[nanti malah tak sungkan datang]
Janji saja kali ini… bila ada buah terkulai… jangan segan kau petik .
Berilah nama Arjuna. Bagai apa yang Mertuamu punya mimpi  
Biar ia berkalana seperti aku. Tak sendiri.
Minta lah Nafsunya memeluknya. 
Kau tahu fikirannya. Teluk-teluk laknat dan mantra yang ia telan…
     Ya… Arjuna saja namanya..


Lihat! Daun kini...


Hiraukan lebah bersenandung... 

Seruan wewangi matahari...

Kamu yang nikmati - Toh, hanyalah duduk menuai senja aku ini...

Kau yang menari... Rumput tlah enggan menunggu titik- titik kakimu...

"Lihat.. daun sudah merah warnanya.

Bau hujan tiada lagi ragu merebak."

jatuh... jatuh lagi... lagi... tak henti... 

kau tertawa. aku menangis. meringis. sakit... 

atau aku yang tertawa... kau menangis... meringis. perih.. ngeri...

Sabtu, Agustus 1

Lagi-lagi... Takdir... Aku senantiasa bersujud...

aku dan dia.

tak sedikit similaritas. mungkin tak beda asa. dia pemimpi, akupun tak pernah lupa bermimpi. dia menulis. yang saat ini tengah kugenapi.

ibuku jelas berbeda dengannya. Kami melihat bumi dari rahim yang berbeda. Darah kami tak pernah bersatu. Pernah mungkin ia singgah. entah dimana. Jelaslah kutarik kesimpulan, bahwa kami bukan kembar.

Namun kami sehati.

tunggu...

Sehati...

lagi-lagi...

sejenak kulihat gambar wajahnya yang ia ukir sendiri.

tak kusangka. 

Tiada jauh denganku. 

Apa ini lukisan sebuah takdir?

api yang berkibar... aku hanya ingin sebuah jawaban.

Benarkah dirinya...? 

apa pantas aku ini...

musim hujan nanti...

kau kutunggu... 

hingga akhirnya...

Tak kusangka

Tak kusangka.

lagi-lagi ini terjadi. 

telah kuucapkan lagi.

namun terlalu besar letihku.

dia, kembali kuingat. 

terus dan terus saja.

tanpa dosa dan doa.

aku lagi yang menuainya.

Selasa, Juni 30

Semangat, Tatih, Enggan, Pilu, Hampa, Angan, Naungan, Iba, dan Eloknya

Sudahlah…
Nubuatnya akan lekas kau genapi.
Tiada perlu ada sejuta ragu
Jelas dari pada kau merah padam
Menelan tawa sang dewa dewi…

Di depan bukan matamu berada?
Jangan biar hujan turun mereda…
Namun ku tahu kau akan berbeda
Lihat, kegagalanmu sungguh tiada

Tiada kah kau ingat
Saat kau berselubung penat?
Meski tak henti sabungan mendekat
Ingat, selempangmu ku gantungkan semangat

Bila hari itu tiba
Jangan coba kau semai setitik iba
Kenangan bukan kemarau yang kau raba
Kugiring hari-hari semi itu dengan tart dan peach melba

Biar manis harimu lepas 
Melepas kelu bak tujuh kapas
Cerah bulan purnama kan menghempas

Hingga tiba hadirnya,
Ia kan memikul kuk dan dosamu
Tanah kanaan
Tanah yang dijanjikannya
Mari bersamaku
Kita renggut musim semi yang hilang
Tiada ada kata teranja-anja 
Terlebih pada naungan maut yang kian singgah

Kelindan neraka (Seberkas sumpah)

Di balik tirai penghujam
Aku akan tetap menghantam
Kalanya aku berjubah hitam
Mungkin akan kubawa kelindan tajam

Menggenggam tampikan setan;
Langkah ini hanya jeritan
Jerit detak jantung tak rentan
Tak lagi untuk jiwa berperan

Kau disana lihati aku
Membikin hasrat yang terpaku
Bahwa engkau tahu ini aku
Hingga di sana terbujurlah aku

Takkan bisa kau kini
Dekati waktuku yang sembunyi
Kenapa kau terus membenci
mungkin kenyataan tak bernyanyi
bernyanyi di tunggak benakmu
goyah hikmat yang bertamu
Selama kau tak bertemu
Matahari di kala semu

Sebentar kau akan mampus
Aku pun tak akan menghapus
Abu siksaan yang terjangku terus
Diam dan tunggu masamu pupus
Kala itu aku berteriak
Air pun takut beriak
Tat kala setan sempat memihak
Di bahu tanjung bersorak
 
Nafas tinggal ampas
Tak hanya setebal kapas
Sirna itu tak pernah lepas
Meski sudah coba kau hempas

Hahaha kini tertawa
Melihat sosokmu dibawa
Dibawa terbang menembus hawa
Tunggu aku hingga nanti tua
Aku akan menyusul ke neraka
Menggenggam arti sebuah angan murka
Jangan harap bisa kau terka;
Melihat matimu penuh sirat luka

Minggu, Juni 28

Rindumu, Sang Bulan ep 2

Fajar amat murni dan rapuh singgahsana gulung-gulung awan sebelum diamuk sinar mentari. Keduanya saling bertepi, matahari dan bulan. Bertatap dalam kesunyian ombak. namun tiada sempat ada petikan kata, terik tlah ada. menepis harum lembayung senja. 

"Wahai gulung2 awan, biar kau yang jadi saksi. saksi keabadian cinta. Hati tak hangus terbakar meski penat tubuhku. Adalah mustahil bagiku bersua kembali." isak tangis matahari, dalam aduannya pada gulungan awan.

gema, desah awan berkata "Tiadakah kau tahu akan gerhana..."

meski tak tampak, palungan matahari tiada berperi melucuti keagungan Gerhana...

"bahkan itu tak kunanti selama 400 tahun" riang gembira naungan mentari. siang itu... besar rindunya pada rembulan. bulat tekad nya bercumbu dengan dewa malam...

"Bila kau tahu, aku pun tiada kau kenal pasti... rasanya jadi sang dewi... berjubah api, memikul lentera. Menorehkan canda tawa. Kau hanya awan bergulung demi keagunganku."

liku-liku awan bercerita. hingga malam tiba 100 tahun tlah usai. Dewa malam, halus parasnya, namun tegar bahasa senubarinya. dalam lingkar sinarnya bertampik. lekatnya Rembulan bercurah hati pada sang ombak.

"Kau tahu dewi lentera... tiadakah ada rindu di hatinya? ku selalu tunggu derai asmaranya. berkabung dalam kesunyian tiap siang. Dewi Lentera, dia yang kuinginkan. aku terlalu sunyi. diam tanpa seberkas cahaya."

"Tanyalah pada awan saat senja. mereka mengerti perasaan sang mentari. bahkan saat menjadi bola emas di penghujung senja." derai ombak tlah berkata...

"Tiada mungkin bagiku. Andai bintanglah saksinya... awan tak kan kulihat tiap malam. terlebih Mentari. Takdirku belum berpihak." 

"Oh bulan, tiada kah kau tahu tentang gerhana... saat takdirmu berpihak. di sanalah kau bercumbu dengan sinarnya." Jawab deruan yang menyongsong, menggapai cakrawala. letih ia berlari. kesana-kemari. bibir pantai selalu menjadi dermaga baginya.

Cinta itu Bukan Dermaga

Blia nanti kujumpa bintang
Izinkan aku, 
Menitih buih buih prosa 
Yang telah penat menunggu untuk kau baca
Cinta itu, bukan dirimu
Cinta itu, bukan bintang
Cinta itu, bukan mimpi
Cinta itu, bukan prosa dan puisi
Cinta itu, bukan piano

Gusar mencumbu baying-bayang angin
Berdiri tegak di atas
Mencoba menyaksikan jiwa mu yang lelah terjaga
Indah ini hari kusangka-sangka

Tapi itu tak akan benar adanya
Pedih perih masih saja memikul hidungmu
Paham sudah aku 
Setiap jarum-jarum yang menari
Dalam teluk hatimu 
Cinta itu, bukan baju bergaris hitam
Cinta itu, bukan tepian angan senubari
Sembari berkata : “ketika sang hujan lelah berdiri
  Bahkan anginpun berpelukan 
  Dengan mimpi alam
Ketika bulan tak lagi 
Tergila wewangi mawar
Di sana aku menanti
Bersama waktu yang menghujam 
Dari dinding awan nun jauh di syurga”

Pernah kah kau tahu,
Dalam ukiran emas aku terbaring
Meski kini rasa itu penuh karat
Namun tak akan pudar seutuhnya
Dari punggungku.
  Lihat, dua orang anak
  Tak hentinya menyebut nama rakuen
Ya…..
Tempat kita bertemu nanti…

Rakuen…

Minggu, Juni 21

Rindumu sang bulan ep 1

matahari. andai bulan jatuh cinta padanya. apa bisa dibuatnya?

meski tak jarang bertikai mereka itu. Namun bulan mengadu. ingin nya bahagia bersama mentari.

"wahai Ombak benarkan asa ku untuknya, biar kau yang menikungi takdirku, lingkari sembari kau berlari ke bibir pantai" 

deru sempurna enggan hiraukan bulan yang bertanya. "biar lah kau temui lagi keelokan itu. fajar sudah menaruh seberkas sinarnya padaku" rintih ombak berbincang pada bulan

"namun hanya saat fajar dan senja lah tempat ku bertemunya. ia di timur, aku di barat. tuh lihat, sudah hampir menghampiri aku"

Bulan tiada pernah tahu akan rasanya membakar siang hari. tak di temani bintang. hanya gulung2 awan yang risih kan hari hujan. begitulah yang mendekap dalam gelora api mentari.

"Lelah malam mu? indah pasti bulan yang kau gantungkan bersamamu" singgung mentari pada tepi bulan yang tenggelam....

"iri daku padamu, suatu hari, ingin ku bisa bergantung bersamamu bulan. menitih bintang yang ada bersamamu selalu"

"semua akan datang bila takdirku tlah tiba dalam sisi."

lekaslah bulan tenggelam. mengarungi alam lain tanpa mentari. entah bilamana takdir menghampirinya, memeluk dengan segenap hatinya...

Jumat, Juni 5

Rin, Pianis di Pentas, lalu Aku

denting2 biduan gelas yang beradu. hangat lilin putih di hadap hidungmu. bahkan tak samapai pula aku menggapai tiang harga dirinya. Pandangnya lurus kaku. ke atas kening pianis yang sembari memahat pentas. bola mata -punyaku yang bundar dan hitam- tiada hentinya bercermin pada kilap gincu bibir yang pernah kubelikan sebagai hadiah ulang tahun mu -yang entah lupa aku kau umur berapa-

"lihat aku"

"sudah kian kali kulihat"

"kurang menarikkah aku di dalam deru alur mu?"

"(terdiam dalam sepi mencekam)"

"Boleh kulihat senyum mu? gincu bibir itu pemberian ku bukan"

"sudahkah kau menitih kejenuhanku?"

keringat di tepi kuku sang pianis. mungkin buta sudah senuari Rin. ditusuk 12 kali oleh jemarinya. bisu rupanya aku dibuatnya. Hingga ia tiada sadar bahwa aku berada di depan sudut dadanya.

"aku Pulangkah yang kau inginkan?"

"itu menjadi pilihan mu. aku ingin tetap memandangnya"

"mengapa tidak ada aku tertoreh di sana? di sana!" 

kutunjuk buah dadanya. melambangkan hati yang terpendam dalam. bahkan jauh di dalam angannya ia selimuti.

"penat sudah aku dengan tawa palsumu"

"Tawa palsu, bukanlah itu. tak beda bukan dengan yang di atas pentas?"

jujur, acap kali aku terhangus cemburu dengan sang pianis. tak lain ia adalah bekas pacar Rin...mahirnya ia, mengitari sudut hati Rin

lihat, lampu sorot sudah mulai redup. doaku hampir saja terkabul. derai applause pula yang memenuhi ruang kini.

"Boleh kau antar aku pulang"

"tiada aku punya alasan lagi tuk bilang tidak"

"bagus. sebab berahiku memuncak sekarang. jangan segan bersamaku"

"Astaga Tuhan!!" makin ku cinta, makin enggan aku mengerti lagi isi benaknya. mungkin kering sudah isinya. tak hujan-hujan meski kutunggu

Rabu, Juni 3

Kikisan tiap Senja

belenggu yang tipikal... terkadang aku berfikir akan musnah.

hening yang absolut... sering kali aku terbuai. tak kecuali saat matahari terbenam

lamunan senja, dendang cakrawala. 

senja... ruang diam hadirku.

Minggu, Mei 17

21 kehidupan yang pernah singgah

1
Kehidupan adalah senandung senja 
Yang tak ada waktu keabadiannya

2
Kehidupan adalah mimpi 
Yang terlalu nyata untuk dilupakan

3
Kehidupan adalaha sastra
Yang tiada bertitik serta berujung

4
Kehidupan adalah tuaian
Dari yang telah ditaburkan

5
Kehidupan adalah deru
Yang hambar dikoyak angin dan hujan

6
Kehidupan adalah palungan batin
Yang menelan setiap butiran kenangan

7
Kehidupan adalah persimpangan
Yang tiada terhitung jumlahnya

8
Kehidupan adalaha keabadian
Bagi setiap makhluk yang telah tercipta

9
Kehidupan adalah angan
Yang dilukis setiap malam dalam tidur

10
Kehidupan adalah jalan gelap
Yang menanti hadirnya cahaya

11
Kehidupan adalah cerita
Yang dititpkan angin malam hari

12
Kehdupan adalah lukisan
Yang tersirat dalam dinding syurga

13
Kehidupan adalah doa
Yang tengah kau panjatkan meski tiada pernah usai

14
Kehidupan adalah keheningan
Saat menentukan siapa sejujurnya takdir itu

15
Kehidupan adalah pena
Yang menulis cerita bahagia di dalamnya

16
Kehidupan adalah tikungan
Yang terus berada di ujung jalan setiap akhir sebuah kisah

17

Kehidupan adalah langit
Yang dapat memelihara bintang dan bulan serta mentari

18
Kehidupan adalah tangkai bunga
Yang mengadukan jenuhnya pada bunga di atas

19
Kehidupan adalah gunting besi
Yang memotong usia dalam waktu tak tentu

20
Kehidupan adalah sayap kupu-kupu
Yang bergeming indah sembari mensyukuri embun pagi

21
Kehdupan adalah dalam 
Yang hanya kau yang empunya
Dan tiada pernah ada yang merangkulnya 
Selain dirimu

Selasa, April 28

Senin Selasa ini... 46 Lah yang Menuntunku

hari ini, telah lama aku berfikir. menagih setiap jawaban yang akan kutulis pada kertas putih. Butir keringatku membasuh fikiran yang tak hentinya menelan egoku.

lelah selalu aku ini. harap saja jerih payah ini tiada arti yang sia-sia. apa yang kutabur, akan kutuai kembali, apa yang kau tabur, kan kau tuai nantinya. 

deru jarum jam bersikeras menitihkan berjuta angan di langit-langit kelasku. bagai laut yang selalu menghardik sentuh bebutiran pasir, waktu terus - terus saja berlagak. tiada ia beri seberkas pengampunan. asalakan pekat yang ku gores, itulah yang sudah ia tanamkan selama berpuluh tahun. 

mimpi yang bergelora terus saja menjadi kabut tebal yang bersua dan berjanji pada halangan fikiran. ahh, gerahnya benak ini, tiada lurus lagi, tiada ada lagi ampun dari sang waktu. buritan yang mendesah kian terpantul dalam sudut ruang itu. 

darah yang tersirat dalam nadi temani, tekan, jawaban yang telah kupilih. itulah yang menentukan masa depan. satu untuk selamanya, selamanya aku pergi. pergi dalam kisah perjalanan duniawi yang tak kenal akan kerahiman.

Ahh,, UAN ya... tempat dimana jenuhku berpaling.

Kamis, April 9

TERRORS OF THE SKY

terrors of the sky. wajahnya terngiang di ketiak langit senja. beratapkan gradasi matahari yang enggan lagi bersinar.

asap kepergian itu menitih asam semangat dalam tiap riak keringatku. tepian itu... biar aku yang mengabadikannya. Senubari yang hampa, siapa yang mengisi ini... diakah yang kucari, dia,, wajahnya yang terngiang di ketiak langit. hanya elegi waktu yang sanggup melampirkan sebuah jawab.

helai surat hati, tak kunjung sampai meski tiada pernah usai doaku. 

aku, putus sudah tali keperihan.. meski lidahku kelu, namun wajahnya, tetap terngiang. ditatap tangan2 surgawi..

biar posting kali ini tiada dapat anda tangkap, namun tak hanya aku, suatu hari nanti, akan kah kalian mengerti?

Selasa, April 7

Kepergian

kiranya sudah lelah aku menunggu... entah bagaimana, meski tangis tak terucap, sepiku di tengah malam tetap menyelimuti. terdiam, dalam angan yang sirna. tiada lagi kisah yang terperi. 

suatu hari nanti, kunanti dirinya. di bawah saksi awan kelam. menitih renta keraguan yang tak berujung. meski gusar rasa ini, enggan aku berkata. biar rembulan yang menyampaikan salamku untuknya. meski aku berdiri di atas lututku sendiri, tangis hujan kan girang menghampiri. hanya air mata, sunyi dan sepi. tiada lagi senyum hangat yang membuai.

sirna semua kini. tak berujung kesedihan yang berdendang. hingga kucar sendiri, cahya mentari pagi yang setia merangkul kuk di atas pundakku.

surat untuk sahabat

dalam hari ini, aku ingin melampirkan sebuah patah kata untuk temanku... pergilah, carilah dunia barumu, titipkan salamku untuk sejuta angan di dunia. walau tiada pernah yakin kita kan bersua. penat meski wajah sahabat2mu, biar jutaan kebahagiaan yang menangisi kepergianmu

Jumat, Maret 27

Peluang yang hilang

hari baru... pipi kemerahannya tiada pudar juga.. aku menunggu hadirnya di atas aspal hangat... tiada sangka tak lewat dirinya, terus kutunggu sambil bercandatawa. hanyalah satu ingin ku,, sapa dirinya, menitih senyum dalam senubariku.

tiada kusangka terbang melayang peluangku bertegur sapa. tercuri kawan yang bertampik di sisi. kesal hati terbakar. inginku menang dari kawanku.., tiada lagi tercuri lain kali. inginku menuai hatinya,,, bertegur sapa, tak tercuri. 

sungguh tak pernah sedetikpun kusangka. kawan mencuri peluangku. menepikan diriku ke dalam jurang terdalam. tak kusangka,, tertawa bibirnya menolehku. kesal... kesal hati aku tak usai...

sumpahku ini, biar kau telan.. 

tak ada kesempatan lagi bagimu untuk tertawa di hadapan bola mataku.. tak hanya sumpah ini namun bukti kan' ku beri padamu.

Selasa, Maret 24

ANTI SOSIAL. mungkin ada yang ingin membantu...

kalau dipikir2, saya ini benar pengecut, tidak gentle, hanya kata saja wajahku. tapi rasanya aku ingin sekali menjadi lebih baik. 

saya, kalo boleh jujur, sebenarnya mengalami masalah ANTI SOSIAL. entah sejak kapan saya menyadari hal itu. tapi saya ingin sekali memusnahkan masalah ini. hanya saja tak ada jawaban untuk setiap pertanyaan saya. kalau ada yang baca posting ini dan ingin membantu, sampaikanlah di cbox saya. saya akan sangat2 menghargai hal itu. 
saya lelah untuk menjadi anti sosial, lelah. ingin sekali rasanya saya bersosial dengan mudah layaknya orang2. mohon, kalau di luar sana ada yang ingin membantu. terima kasih.

beda dikit sih tapi, ya sudahlah...

halo semuanya... mungkin sedikit aneh ya kalau saya pakai bahasa yang berbeda kali ini. saya hanya sedikit bosan dengan tampilan tulisan saya yang sebelum2nya.kalau seperti ini kan bisa lebih santai. hari ini, sebenarnya tak berbeda jauh dengan hari2 sebelumnya. jadi ya,, mungkin saya tidak posting terlalu muluk2. cuma ingin tahu saja kalau ada yang baca posting saya ini, saya berharap bisa tahu blog anda juga, mudah saja, masukan saja komentar untuk post ini, atau anda bisa menulisnya di cbox saya. saya tidak ada maksud apa2. hanya saja saya ingin membaca kesan teman2 tiap hari, mungkin bisa mengisi waktu saya yang kosong. hehe... saya sudahi dahulu ya,, terima kasih atas perhatiannya. mohon kerja samanya.

HARI INI, tak peduli detik-detik berlalu, hanyalah aku berdiri berpaling pada dinding putih. ia termenung di atas. entah apa inginnya. kucoba melukis angannya. namun, tak sampailah maksudku berpaling. mungkin tak cukup besar nyaliku bertampik. bak orang bodoh mewarnai pelangi. andai tak ada penatku, bahagialah aku menepis takut. menemui dunia fana. walau sepatah semangatku sudah hilang. kini, aku tahu, berat hariku, membangkang untuk memaksaku bersua. entah ini kemauan takdir, aku pun tiada sempat yakin. hanya saja, besar inginku menaruh benih ini di benaknya.

Tuhan, tolong aku. raih angan impiku. hadirlah dalam tiap detak nadiku. yang tersirat keberanian yang kau beri... agar nanti, besar buah yang kutuai bersamanya.

Selasa, Maret 17

kelindan air, menunggu, berkemelut dalam tiap angan sepi. berdiri, berpunggungi beban tak hangat. berartikan tiap-tiap namanya. malam, bintang tak dingin bertampik di langit. tak beda sang dewi malam.. bertoreh senyum di wajah kemerahan. entah, lalu pergi ia esok saat fajar menyingsing? aku pun ingin selalu ada. ada untuknya, tak hanya sang dewi malam, tak hanya sang ibu samudra, aku pun,, ingin ada selalu. tak pernah, tiada pernah aku tak hadir dalam detiknya. menatap wajah sunyi penuh misteri. meski kutelaah perih agung. 

tanpa hari, malam tak ada, tanpa malam, fajarpun segan berpamer. aku pun selalu begitu. tiada lelah mencari yang hilang. tiada penat menanti yang lelah. tiada jenuh menunggu yang terbuang angannya. tiada terperi waktu tlah kuhitung. wajah yang ada, selalu kunanti, tak ada waktu tuk kutinggal bernyanyi, berdendang di tengah syurga. entah apa fikirnya, tak ingin aku membuka, hanyalah sebuah mimpi ku genggam. berdendangkan hidup dan bersonata akan kematian dengannya.

secangkir teh hangat yang kutuai kini

Itu, aku, usiaku tertelan angin

musik, tak lagi ada kusentuh. hanya kurasa. tersirat dalam daging dan darah nadi. sebuah angan yang hendak menerjang. menerjang tubuh memaku jejak dalam gelap. 

hari yang lelah tanpa musik. hari ini,, tlah turun usiaku. menanti musik berdendang meski sejenak saja. ingin peluk.. selalu peluk dan kupetik dawai-dawai gegap gempita dalam kamarku. tiada lagi usai. tiada lagi tepi,, hingga aku menemukannya

musik dalam telinga.

Senin, Maret 16

Sadar Dari Peluk Lelap Yang Singgah

hati seakan terbuai mimpi. kau membelai tepi surga

termenung kini diatas dawai-dawai gitar kayuku.

secangkir teh yang menemani, tak jenuh berangan hijau atau hitam... entah itu aku tampar jendela kamar hati. sadar dari peluk lelap yang singgah.

tunggu benalu hidup

hingga nanti lidah kelu tak mengeluh kembali.

aku akan menanti... 

ah... penat nya hidup.. enggan nya aku melompat ke tangan mentari...

hari ini,, lelah hati berkata... lelah hati berpanas ria... lelah tengkuk ku mengamuk pada sang hari... hari ini,,, lelah... lelah

Selasa, Maret 10

Aku ini Penuai senja

naluriku memang tak lelah. menitih dendam kesumat. hanya, tunggu kini aku menanti. menanti hadirmu, menaruh angan tepi hari.

tak kah kau lupa, kalau-kalau hadirnya tiba, buka hatimu. peluk mimpi-mimpi putih yang berserakan . tak rapi, tak rapi di atas bantal tidur.

namun kini aku bertepak. menabur emas yang kutuai kelak nanti. 

entah tak ada kata ingin ditampikan. aku ini...

tiada boleh kau pernah lupa...

aku ini...

Penuai senja

Jumat, Maret 6

teh - secangkir putih

teh, secangkir, manis, aku ingin rasakan. 

hanya secangkir putih. memeluk tiap2 pahitnya.

teh hangat. pipi merahnya selalu. tiada pudar

ah, teh tawar saat ada isak nya

pelan, kuaduk lembut. tak terasa.

takdir, dimana dirimu

Lagi, tiada penat nya aku menitih. tiada sanggup menepikan. aku , kesal, diri dirundung amarah. kecewa. bintang itu kini, mulai pudar meski perlahan. wajahnya pucat pasih. jamahi hati, tak mungkin kini,. aku selalu diserang rasa itu

tak pernah percaya, rusak itu gerigi besi kini. aku, dimakan lagi oleh waktu. menunggu hadirnya tiba. takdir ku... KEMANA PERGINYA??

aku tak pernah boleh, ?? kau tak beri izin ku???

kenapa?? perlulah aku mencumbu tinta2 yang tersirat di meja pagi.

"masa refreshing aja ga ditakdirkan?? gue mau main tekken 6 bareng temen, ehhhhm mesinnya rusak"

Senin, Maret 2

BAGI SEMUA YANG PERNAH HIDUP

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHH.....!!!! 

BISA KALIAN RASAKAN

SAAT TELAN ITU CUKA DI BIBIRMU BERDARAH

SEMUA YANG HIDUP

AAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHH.....!!!!

PERGI

TINGGAL AKU INI SEBATANG KARA

Cobalah kau tunggu

Keras.

tak terpatah

AKU, Ah, terlalu berat

Dia,Batu,keras,takpatah,hancur,belah

tak patah, aku akuakaukakuakakakuakuaku

tak jelang waktu

aku bisa habis

terjamah setan nanti otakku

gila

enggan lagi

melukis hari-hari penuh biduan angan

ah, bisa habis ini lama

tiada sial aku ditekan penat

aku tiada lebih

aku hanya kerikil terbuang

mati terhempas

jadi lah aku seorang bajingan

Ah GOD

tiada sesalkah kau bercipta?

akuakuakuakakuakakuakuakakuakakuakakuakuaukakuakakuakakuakuakakuakuakuaku, cobalah Tuhan bayangkan'

aku ini;

tak pernah layak

meski juta kali aku kecapi lidah 

Sabtu, Februari 21

Berbalas - Aku, Aku, Dia, Dirinya.

aku, aku, dia, tak pernah aku menyulut tiap-tiap pandangannya.

Meski bumi tak jenuh berputar, tak pernah ia menyesal akan waktu yang tertelan. gudang senubari, hambar selalu, selalu. Andai ia pernah dapat tahu. terlalu penat aku memandangi. menunggu kehitaman bulat matanya berpaling, berpaling ke sini.

Dia, berpunggung satu. memikul kisah cinta dalam ransel hitamnya. tiada beda aku ini. lelaki berangan setinggi matahari. tidak, setinggi langit di tepi angkasa.

Hari ini, kami bertatap bola mata. tak pernah kukira ada sesuatu. tak hanya angin yang berdendang, begitu jua benak. tiada bergerak keriput bibirku. menyapa indah dirinya yang berbalas pandang denganku. aku ini, mungkin hanyalah takut, tak lemah. belum terbangun nyaliku untuk berselam. berselam selam di danau penuh kisah.

untuk semua yang mambaca. aku hanya memohon doa tak lebih.karena pada suatu hari itu, aku tak kan seagn memberi kasihku padanya. hanyalah kini aku, meminta teman-teman semua ikut menaburkan benih-benih dari saku ku. hingga kala ku tuai.

Kamis, Februari 19

Masih saja hari ini - sepatah penatku pada Calvin

Masih hari ini - belum berakhir, izinkan kali ini aku menyampaikan sepatah pesan ku untuk temanku.

"maaf, tiada sempat bisa kau memancing apiku. meski kau bilang pada dunia. aku tetaplah aku. tiada dapat angin membuai nafsuku. hingga lahir hasratku untuk mencekik lehermu. kalau-kalau kau ingat, tataplah serpihan cermin kamarmu. sebelum hari memaksamu berkata"

*Surat ini ditujukan kepada Calvin Bulat

Masih hari ini - perlahan ia bermula tuk berakar

Masih hari ini, aku menanti sebuah cahaya. maaf ku untuk sebuah hatiku yang hilang kutitipkan pada angin. kini aku menyukai seseorang lain. meski jauh di sana, kunanti kunanti dan kunanti hingga kujumpa pintu anganku

kalau hari ini masih ada, titihan asmara tak kan muncul berselempang sejuta alasan. aku hanya menyukai. tak sampai maksudku tuk selalu berdiri di benakknya. namun, tak kusangka, bunga pun bisa mekar Senja Hari. aku tak pernah ingkar pada palungan jiwaku

tak pernah menutup mulut. Bunga pun bisa mekar Senja Hari. tak kusangka terisi kini benakku akan serpihan wajahnya. 

namun, tiada kubiarkan pintu terbuka bagi yang lain. demi mimpi, angan, kesunyian yang selalu terpendam

Jenuh - namun, aku ini penuai senja.

Aku, jenuh sudah terduduk menatap lembaran. langit tiada pernah tersenyum. hanya tunjukan ia topeng kegembiraan, sejujurnya, tak pernah ia berpihak. aku, jenuh sudah terduduk menatap lembaran

Sebenarnya, hari ini agak capek, tapi untuk apa di sesali bila nanti kita bisa menuai apa yang kita tabur?? bisa dilihat dari judulku, aku ini penuai senja. meski lelah aku menabur, namun selalu aku singgahi tuaianku senja hari.

akupun ingin semua orang begitu, tak pernah bersua dengan suram sepi. mungkin tak lebih baik kita bertidur malas dari pada menampik tiap-tiap butir nilai ke dalam benak kita.

Senin, Februari 16

Ketika fajar menyingsing

Hari ini, sedikitnya menumpahkan keringat. derai nafas selalu mengalir. tak jenuh aku menanti. kini, awal baru telah terlihat. menumpahkan isi benakku di tampat ini. 

tak pernah aku berjujur hati, sempat kespian aku ini. tak lagi kini. tinggal, aku, dia, dirinya, menitih tiap tiap dentuman jam dinding kamar.

Pertama kalinya ini saya membuat Blog,saya, selalu saja terobsesi oleh seni.Dari seluruh aspek indra yang kupunya. telinga untuk musik, mata untuk seni yang terpajang, dan mulutku, untuk mengucapkan puisi dan sajak. barang siapa tertarik dengan blog ini, aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik.